Title :
Coffee Prince Café : Autumn and Spring
Author :
JunEonnie
Cast :
Song Ga Eul [OC]
Yoon Doo Joon (B2ST/BEAST)
Rating :
AG
Genre :
Love, Classic romantic
Length :
Oneshot
Ps :
Cuap-cuap bentar ya…
Jujur, ini pertama kalinya aku bikin ff oneshot yang jumlahnya 24 halaman o.O. Tadinya mau dijadiin twoshot/chapter, tapi aku pikir nanti feel-nya malah gak dapet. Dan tenang aja readers…pemeran ceweknya kali ini bukan author *readersloncat-loncat*. Aku juga gak tau kenapa pas bikin ff ini dan mikirin pemeran ceweknya itu aku, malah bikin mual sendiri, dan akhirnya jadi gak mood buat ngelanjutin *hinadirisendiri*
Sorry kalo storyline-nya bikin bingung dan akhirnya malah gak ngerti. Aku pingin nyoba bikin ff yang beda dari ff-ff oneshot sebelumnya, tapi hasilnya malah kaya gini. Soal bagus atau engganya, terserah readers yang baca. Maaf kalo ngecewain, soalnya aku bukan author pro yang pinter bikin alur cerita yang menarik.
Anyway, happy reading^^
Disclaimer : The storyline is MINE!!!! Please, don’t do any plagiarism act!!!
————————————————————————————————————————————–
…..
“Ya! Kau bilang sore ini mau datang ke rumahku! Aku sudah menunggumu dari tadi!”
“Ah, mian. Masalah dokumen, akan kuperlihatkan nanti malam.”
“Andwae! Nanti malam aku tidak ada di rumah. Nanti besok saja.”
“Geurae. Tapi kalau besok, kita bertemu di Hongdae saja bagaimana? ”
“Ya sudah, aku ke Hongdae besok. Memangnya sekarang kau ada dimana?”
“Aku? Aku di…Coffee Prince Café…”
…..
————————————————————————————————————————————–
Author’s POV
September 2007 : Awal musim gugur
Jalanan Hongdae, untuk yang pertama kalinya, terlihat lebih sepi hari ini. Tidak banyak orang yang berlalu lalang disana. Mungkin karena ini hari libur, para remaja termasuk mahasiswa, lebih memilih pergi ke tempat lain dibanding tempat ini.
Berbeda dengan seorang gadis yang sedang berdiri kebingungan di depan sebuah café daerah itu. Rambutnya yang hitam panjang berayun pelan diterpa angin musim gugur. Beberapa helai daun kering yang kecil tersangkut di rambut indahnya. Dengan gerakan tangan yang pelan namun terkesan indah, gadis itu membersihkan daun kering dari rambutnya dan kembali memandangi café yang sedari tadi berdiri kokoh di depannya.
“Apa aku harus masuk?” gumamnya kecil pada diri sendiri. Tanpa jawaban, akhirnya gadis itu melangkahkan kakinya menuju pintu café.
Dia, Song Ga Eul, memang sudah berkali-kali datang ke café ini. Bahkan para pelayan di café sudah biasa melihat kedatangannya. Dan karena para pelayan café ini tidak tahu siapa nama Ga Eul, mereka biasa menyebutnya dengan sebutan ‘Agasshi 3’ karena dia memang selalu duduk di meja no. 3 yang letaknya di pojok café dekat jendela.
“Menu biasa agasshi?” tanya seorang pelayan wanita saat Ga Eul duduk di mejanya. Tanpa pikir panjang Ga Eul langsung mengangguk dan tersenyum pada pelayan itu. Senyum itu, senyum itulah yang membuat para pelayan tidak pernah bosan melihat kedatangannya. Dilihat dari penampilannya, Ga Eul memang terlihat seperti gadis baik. Dan pada kenyataannya, memang seperti itu.
Sambil menunggu pesanan, Ga Eul mengalihkan pandangannya keluar kaca jendela. Daun-daun kering di tanah terlihat berterbangan, tersapu oleh angin. Daun-daun berwarna coklat itu selalu tampak indah di matanya.
“Musim gugur yang indah.” gumamnya pelan. Ga Eul selalu menyukai musim gugur. Nama ‘Ga Eul’ pun berarti ‘Musim gugur’. Menurutnya, suasana di musim ini selalu tampak berbeda dengan musim lainnya. Dan bukankah memang seperti itu? Bahkan musim salju pun pasti nampak berbeda dengan musim yang lainnya. Pemikiran gadis ini tentang musim gugur memang sulit dimengerti.
Pelayan tadi datang dengan membawa pesanan Ga Eul. Selalu, selalu saja pesananya datang lebih cepat. Padahal meja no. 2 datang lebih dulu darinya, tetapi sampai sekarang pesanan miliknya belum juga datang. Ga Eul berpikir, mungkin ini karena para pelayan sudah tahu apa yang akan dia pesan, mereka telah mempersiapkannya bahkan sebelum gadis itu datang.
Espresso Conpanna dan Cream Cheese Waffle, dua menu inilah yang selalu ia pesan saat datang ke café ini. Menurutnya, kedua menu ini bisa membuat perasaannya lebih nyaman senyaman musim gugur, walaupun ia tahu tidak mungkin ada ramuan seperti itu yang dicampurkan ke dalam pesanannya. Pemikiran seperti itu kadang membuatnya tersenyum sendiri.
“Silahkan, mau pesan apa tuan?” ucap seorang pelayan yang berhasil mengalihkan perhatian Ga Eul. Terlihatlah, di meja no. 4, seorang lelaki dengan rambut coklat yang sedang membaca daftar menu. Dia duduk persis menghadap ke arah Ga Eul. Ini tentu saja membuat gadis itu bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Sejenak, mata Ga Eul terpaku pada lelaki itu. Garis wajahnya yang indah, rambutnya yang berwarna coklat, hidungnya yang mancung, sempurna…
Siapa dia? Siapa yang telah membuat matanya terus terpaku itu? Berkali-kali Ga Eul datang ke café ini, belum pernah sekali pun ia melihat sosok semenawan itu.
“Violet Potato Princcino.” ucapnya mantap. Matanya belum beralih dari daftar menu.
“Hanya itu tuan?” tanya si pelayan lagi dengan sopannya.
“Hmm…Crepe Cake kalau begitu.”
Violet Potato Princcino? Crepe Cake? Kenapa dia memesan menu itu disaat suasana dingin seperti ini? Aku pikir dua menu itu tidak cocok dipesan saat musim gugur…
Dia berbeda, tentu saja. Ga Eul merasa segala hal yang dimilikinya pastilah berbanding terbalik dengan apa yang dimiliki lelaki itu. Dia bagaikan musim semi bagi Ga Eul. Membuat hatinya berdesir hangat, sehangat musim semi.
“Jeogiyo, agasshi…” tanya sebuah suara. Dan suara itu berasal dari lelaki yang duduk di meja no. 4. ‘Apa dia bertanya padaku? Apa dia sadar aku terus memperhatikannya?’ tanya Ga Eul dalam hati yang terkejut dengan tingkahnya sendiri. Jantung yang biasanya berdegup anggun di tempatnya kini seperti terhimpit drum besar yang dipukul keras. Gadis itu bahkan bisa merasakan desiran darah yang mengalir di urat nadinya.
“Ne?”
“Jam berapa sekarang? Aku lupa memakai jam tangan…” ucap lelaki itu lembut. Dia bahkan tidak tahu dimana letak jam dindingnya. Ini membuat Ga Eul tersenyum kecil.
“Baru pertama kali ke sini rupanya?”
Ga Eul yakin pertanyaan ini membuat lawan bicaranya bingung. Terlihat dengan munculnya beberapa garis di kening lelaki itu.
“Eotteokhae arayo?”
“Karena kalau kau pernah datang ke sini sebelumnya, apalagi tidak memakai jam tangan, pasti akan langsung melihat jam dinding di belakang sana.” Ga Eul menunjuk jam dinding di belakang dengan dagunya. Pernyataan ini membuat lelaki itu membalikkan wajah, mencari keberadaan jam dinding yang dimaksud dan tertawa kecil.
“Ah…kau benar, kamsahamnida.”
Senyumnya, kenapa terlihat manis sekali di mata Ga Eul? Bahkan sepertinya musim semi menyatu dengan senyumannya itu.
“Ireumi mwoyeyo?”
Pertanyaan itu muncul begitu saja dari mulut Ga Eul, bagaikan balok es yang meluncur dengan cepat di atas hamparan air yang membeku. Apa gadis ini mengajak lelaki di depannya untuk berkenalan?
Lelaki itu tampak diam sejenak, lalu tersenyum, “Yoon Doo Joon imnida.” jawabnya. Kali ini dia balik bertanya. “Agasshi?”
“Song Ga Eul imnida. Dan tolong jangan panggil aku agasshi, entah kenapa itu membuatku merasa lebih tua darimu.” jawabnya dengan senyum yang dibuat semenawan mungkin. Dia hanya terseyum mendengarnya. Matanya yang besar mengecil dengan indahnya.
Mengetahui bahwa dia adalah seseorang dari keluarga Yoon, membuat Ga Eul mengingat pesan nenek sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Marga Yoon akan terdengar sangat indah jika disatukan dengan namamu. Apa kau setuju dengan nenek, Yoon Ga Eul?
Yoon Ga Eul. Nama itu malah terdengar sangat lucu di telingnya. Dia sendiri beranggapan bahwa marga Yoon dipersembahkan untuk musim semi. Kenapa? Mungkin ini karena sebagian temannya yang bermarga Yoon lahir di musim itu.
Seorang pelayan membawakan pesanan Doo Joon. Ga Eul hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan anggun saat melihat pesanan itu. Dia tidak yakin bahwa dirinya bisa menghabiskan pesanan lelaki itu, apalagi ini musim gugur.
“Waeyo?” tanya Doojoon saat ia mulai menyesap Violet Potato Princcino-nya. Gerakan tangannya yang pelan membuat ia terlihat lebih menawan. Sangat menawan, tetapi itu tidak menghilangkan sifat lelakinya. Matanya yang besar dan indah pun tak lepas dari mata coklat Ga Eul.
Ga Eul tampak diam berpikir. Haruskah ia menjawab pertanyaan itu?
“Kenapa kau memesan minuman dan makanan itu? Tidakkah kau merasa musim gugur ini dingin?” Ga Eul mengambil Espresso Conpanna-nya yang sudah hampir dingin dan meminumnya perlahan. Hmm…rasanya masih tetap enak, pikir gadis itu.
“Waeyo? Mungkin karena aku menyukai makanan dan minuman dingin. Seperti apapun cuacanya, aku tidak peduli. Aku hanya mengharapkan sesuatu yang nikmat. Apa karena cuaca sedang dingin aku tidak boleh menikmati menu seperti ini? Aku tidak ingin repot-repot menyiksa diriku sendiri untuk sesuatu yang menyenangkan. Tidak, terima kasih…” jawabnya tegas. Dan ketegasannya itu membuat Ga Eul bertambah yakin bahwa musim semi memang telah menjadi bagian dari diri Doo Joon.
Sore itu…indah. Bahkan sepertinya daun-daun kering yang berguguran sangat merestui pertemuan antara keduanya. Antara Ga Eul dan Doo Joon. Walaupun terpaut satu meja, tapi itu tidak menghalangi mereka untuk berbincang-bincang dengan santainya. Tak ada beban saat mereka berbicara. Semuanya mengalir begitu saja bagaikan air. Dan Ga Eul menemukan begitu banyak perbedaan antara dirinya dan Doojoon. Sebanyak perbedaan antara musim gugur dan musim semi. Tapi karena banyaknya perbedaan itulah yang membuat Ga Eul yakin, bahwa lelaki yang menjadi lawan bicaranya itu, telah membuat hatinya ditumbuhi benih-benih cinta untuk yang pertama kalinya.
Apa ini yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama?
Author’s POV End
—
Ga Eul’s POV
Apa ini benar? Haruskah aku menyangkalnya? Tapi bagaimana bisa? Bukankah perasaan memang tidak bisa dibohongi?
Cinta itu, dalam pandanganku, tumbuh melalui dua cara. Pertama, cinta yang tumbuh dengan sekejap. Dalam hal ini berarti ‘cinta pada pandangan pertama’ atau ‘cinta karena tindakan yang tiba-tiba’. Tindakan tiba-tiba yang kumaksud misalnya, kau tiba-tiba jatuh cinta pada teman yang telah menyelamatkanmu dari keadaan sulit. Mengerti? Yah, aku sendiri sedikit kesulitan menjelaskannya. Tapi dalam pemikiranku, cinta semacam ini tidak akan bertahan lama.
Kedua, cinta yang tumbuh melalui proses. Dalam hal ini bisa saja karena kau dijodohkan atau karena kau menyadari bahwa ‘seseorang itu’ telah berbuat lebih untukmu. Karena proses itulah, aku yakin bahwa cinta semacam ini biasanya bertahan lama.
Dan dalam kasusku ini, aku memasukannya ke dalam kategori pertama. Yap! Cinta pada pandangan pertama. Dan lelaki yang kumaksud, adalah lelaki yang aku temui di Coffee Prince Café kemarin lusa.
Matanya yang besar dan indah itu, seperti akan menelanku bulat-bulat. Tapi dengan mata itu juga, dia bisa melihat dunia lebih luas.
Seperti inikah rasanya cinta? Bahkan suaranya pun masih terngiang-ngiang di telingaku. Wajahnya yang tampan mengingatkanku pada musim semi walaupun itu ti…
“Ya! Kau melamun lagi? Wae geurae?” tanya sebuah suara yang mengagetkanku. Kulihat Jong Min menutup bukunya pelan dan menatapku dalam, menunggu jawaban.
“Tidak ada apa-apa.” jawabku sambil memainkan ponsel. Angin di taman ini bertiup cukup kencang, membuat rambutku berlarian kesana kemari. Bahkan beberapa sobekan kertas milik Jong Min berterbangan dan jatuh ke tanah, membuat lelaki itu terpaksa mengambilnya kembali dan memasukannya ke dalam tas gendong yang ia bawa.
“Ikatlah rambutmu itu. Apa kau tidak risih?”
Dia selalu tahu apa yang aku rasakan. Tanpa pikir panjang aku langsung mencari ikat rambut di tasku dan memakainya, membuat rambut-rambutku kehilangan oksigen-nya untuk sesaat.
“Kau bohong kan?”
Pertanyaan ini semakin menegaskan bahwa dia memang selalu tahu apa yang aku rasakan. Sahabatku ini, bagaikan musim gugur bagiku. Dia selalu membuatku merasa seperti daun kering yang akhirnya rontok saat aku berbohong.
“Aku hanya, ehm…sedikit bermasalah.”
“Masalah cinta?” tebaknya tepat.
Aku menghelai nafas panjang, “Kau selalu tahu apa masalahku. Jadi sekarang, untuk apa kau bertanya lagi?”
“Tapi aku tidak tahu apa selanjutnya. Lanjutkan.”
Tanpa menambah bumbu sedikit pun, aku menceritakan kembali pertemuanku dengan lelaki bernama Doo Joon di café itu. Tentang semua kesempurnaan yang ia miliki, tentang semua perbedaan di antara kami, dan tentang sifatnya yang menurutku seperti musim semi, terlihat sejuk tetapi sebenarnya menghangatkan.
“Kau katakan saja yang sejujurnya kalau begitu.” ucapnya langsung begitu selesai mendengarkan ceritaku.
“Kau pikir harga diriku bisa dibeli seharga 5 won? Aku ini wanita, Kim Jong Min! Tidak seperti kau yang dengan mudahnya mengatakan cinta pada Hyo Jin.” ya, Hyo Jin, kekasih Jong Min. Sudah dua bulan mereka menjalin hubungan cinta kasih. Aku sempat heran kenapa Hyo Jin mau menjadi kekasih namja di sampingku ini. Aku tidak merasa dia memiliki pesona khusus. Atau aku yang tidak menyadarinya?
“Kau mengatakan dia seperti musim semi, dan kau mengklaim dirimu sendiri seperti musim gugur. Jika kau beranggapan bahwa wanita tidak sepantasnya mengatakan cinta pada lawan jenisnya, apa orang bernama Doo Joon itu sependapat denganmu? Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa banyak sekali perbedaan di antara kalian?” jelasnya. Rambut depannya yang berponi tertiup angin, terlihat lucu.
“Kau benar. Tapi bagaimana kalau begini: ‘Doo Joon bagaikan musim semi dan aku adalah musim gugur. Banyak perbedaan di antara kami berdua. Itu artinya, jika aku mencintainya, berarti dia tidak mencintaiku’?”
Mendengar pertanyaan ini, Jong Min menghelai nafas panjang dan mengeluarkannya bersamaan dengan angin yang berhembus. Kepalanya yang besar menggeleng-geleng kecil, pertanda bahwa ia tidak sependapat dengan pemikiranku. “Jangan pernah memasukan cinta ke dalam rumus ‘musim’-mu itu. Kau tidak akan pernah bisa menemukan jawabannya. Cinta bukanlah hal yang bisa ditebak dengan teori musim konyolmu itu, Song Ga Eul…urusannya sudah lain. Buktikanlah! Jika aku salah, kau boleh menyuruhku untuk berhenti mencintai Hyo Jin, karena dia bagaikan musim semi bagiku.”
Mendengar jawabannya itu, mulutku terdiam. Apa yang dikatakan Jong Min ada benarnya. Aku memang selalu menghubungkan sesuatunya dengan musim. Tapi itu caraku. Memangnya salah?
Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul 1 siang. Aku bangkit dari tempat duduk dan membawa serta tas yang sejak awal menemaniku, “Aku harus pergi.” ucapku pada Jong Min.
“Rumah sakit lagi?”
Aku mengangguk pelan. Belakangan ini aku memang sering pergi ke rumah sakit. “Ne, aku belum menjenguknya hari ini.”
“Kenapa kau masih peduli padanya? Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak pernah peduli padamu dan selalu bersikap dingin seperti dinginnya musim salju?” tanyanya. Ha Neul eonni memang kakakku, walaupun bukan dari ibu yang sama. Mungkin itulah alasan mengapa dia selalu bersikap dingin padaku. Walaupun begitu, aku tidak peduli dengan sikap dingin Ha Neul eonni. Karena aku tahu, dibalik sikap dinginnya, wanita itu masih membutuhkanku.
“Aku tidak peduli dengan sikap dinginnya itu. Bagaimana pun juga, aku tidak bisa lari dari kenyataan bahwa musim gugur selalu mendampingi kehadiran musim dingin, benar kan?”
Ga Eul’s POV End
—
Author’s POV
Pelayan dengan ikat rambut merah itu mendesah pelah. Pekerjaan yang tak kunjung berakhir membuat badannya serasa remuk untuk sesaat. Dia memutar kepalanya untuk menghilangkan rasa pegal di leher. ‘Kapan kaca jendela ini terlihat bersih? Haruskah aku melanjutkannya?’ batin pelayan itu. Bahkan setiap ayunan tangannya di kaca jendela memperlihatkan jelas rasa lelahnya.
Pemandangan di luar jendela membuat pelayan itu menghentikan pekerjaannya dengan tiba-tiba. ‘Dia datang! Ini waktunya menyiapkan Espresso Conpanna dan Cream Cheese Waffle!’ dan tanpa aba-aba, tanpa perintah, pelayan itu langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan apa yang seharusnya ia persiapkan untuk pelanggannya yang satu itu. Seperti sudah menjadi sebuah kebiasaan baginya dan juga pelayan yang lain.
Sementara itu, dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan, Ga Eul masuk ke dalam Coffee Prince Café. ‘Mungkinkah ia disini sekarang?’ pertanyaan itulah yang menghiasi pikirannya selama perjalanan menuju café. Mengharapkan seseorang tidaklah salah, bukan? Rasa seperti itu wajar jika seseorang sedang jatuh cinta.
Ia pusatkan pandangannya ke setiap penjuru café, dan kemudian mata indahnya terhenti pada meja no. 4. Bahkan beberapa pelayan bertanya-tanya apa yang sedang ‘Agasshi 3’ lakukan. Padahal meja kesayangannya tak berpenghuni saat ini.
‘Kosong. Bahkan batang hidungnya pun tak terlihat.’ rasa kecewa itu datang. Sudah lima kali Ga Eul bertemu lelaki itu. Dan sudah lima kali pula lelaki itu duduk di meja no. 4, dekat meja favoritnya. Tapi kini meja itu masih kosong, tak berpenghuni. Akankah Doo Joon datang? Haruskah gadis itu menunggu?
Pertanyaan itu membuat Ga Eul berpikir, apakah ia datang ke café ini hanya untuk bertemu Doo Joon? Apa itu tujuannya? Bukankah ia selalu datang untuk menikmati sorenya di sini? Atau jangan-jangan, kini tujuan itu telah berubah?
“Espresso Conpanna dan Cream Cheese Waffle, agasshi?”
Suara seorang pelayan menyadarkannya dari lamunan. Tanpa sadar Ga Eul sudah duduk dengan anggunnya di meja no. 3. Pikiran-pikirannya tentang Doo Joon telah membawa pergi setengah kesadarannya. Ia tak ingat kapan kakinya melangkah menuju meja ini.
“Ah…ne.”
Secepat mengikat juntaian rambutnya yang indah, secepat itu pula si pelayan datang membawa pesanan. Dengan tatapan heran, Ga Eul menatap dua menu di depannya. Secepat itukah menu ini dibuat?
Dengan cepat si pelayan menangkap keheranan yang dengan jelasnya diperlihatkan Ga Eul. Gadis ini, entah mengapa sepertinya belum mengerti juga. Seluas lautankah masalah yang ada dipikirannya sampai-sampai hal seperti ini tidak bisa ia tangkap dengan cepat?
“Kami sudah membuatnya sebelum anda datang, agasshi. Yang kami tahu, anda belum pernah memesan menu lain selain dua menu ini.” iringan senyum si pelayan itu menghilangkan rasa heran Ga Eul. Dia senang masih ada yang mengerti apa yang gadis itu inginkan. Setidaknya untuk saat ini.
“Kamsa…” jawab Ga Eul dengan senyum yang bahkan angin pun akan berhenti untuk melihatnya sejenak. Senyum musim gugur yang selalu ia miliki. Senyum yang menyejukkan. Senyum yang membuat si pelayan mengerti bahwa ia harus kembali ke tempatnya.
Secepat cahaya mengedip, secepat itu pula ia duduk di meja no. 4. Ya, entah sejak kapan, Doo Joon sudah duduk di hadapan Ga Eul. Mengapa kehadirannya tak Ga Eul sadari? Padahal dia datang ke café ini untuk bertemu dengannya. Bahkan suara derit kursinya pun tak terdengar. Apa lelaki di hadapannya ini bisa muncul tiba-tiba? Mungkinkah? Ga Eul tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
Seperti menangkap keterkejutan di mata Ga Eul, Doo Joon menatap gadis itu penuh arti. Dia tahu apa yang ada dalam pikiran Ga Eul. “Aku datang saat kau berbicara dengan pelayan itu.” dan Doo Joon tidak memerlukan jawaban Ga Eul saat dia melihat kerut di keningnya menghilang, digantikan dengan senyuman yang membuat nadinya menjadi sedikit lebih hangat.
Tak bisa dihindari lagi, mereka akhirnya berbincang-bincang, sama seperti beberapa pertemuan terakhir mereka. Ini persis seperti apa yang diharapkan Ga Eul. Kedatangannya di café ini tidak sia-sia. Dan memang tak pernah sia-sia.
“Arsitek? Kedua orang tuaku juga menyarankanku masuk ke jurusan itu. Tapi sayang, aku lebih memilih sastra Korea. Menurutku itu lebih menyenangkan daripada harus bergelut dengan dunia Fisika dan Matematika.” ucap Ga Eul saat tahu Doo Joon adalah seorang mahasiswa jurusan arsitek di Kyung Hee Cyber University. Dia baru mengetahuinya sekarang, karena setiap kali bertemu, mereka belum pernah menyinggung tentang topik ini.
“Ne. Aku lebih suka bermain-main dengan angka. Kau sendiri, apa yang membuatmu tertarik dengan sastra? Bukankah disana kau hanya belajar bagaimana berbahasa yang baik dan benar? Tidakkah kau mempelajari itu saat di sekolah menengah?”
Ga Eul memakan sesendok Cream Cheese Waffle-nya sebelum menjawab pertanyaan klasik itu. Pertanyaan yang sering dilontarkan orang-orang saat tahu bahwa dia adalah seorang mahasiswi jurusan sastra.
“Aku bukan seseorang yang bisa menghitung sesuatunya dengan akurat. Sebenarnya, otak kananku lebih mendominasi daripada otak kiriku. Ya, aku memiliki daya khayal yang tinggi. Di sastra, aku tidak hanya belajar bagaimana berbahasa yang baik dan benar. Aku juga belajar bagaimana cara mengekspresikan perasaanku ke dalam tulisan tanpa orang tahu apa makna tulisan itu. Dan sekarang ini, aku sedang menyusun sebuah novel fiksi dengan susunan bahasa yang bisa dibilang agak rumit. Ya, aku menyukai sesuatu yang rumit.” jawab gadis itu sambil memakan waffle-nya kembali.
Mendengar itu, Doo Joon menarik kedua sudut bibirnya sehingga membentuk sebuah senyuman yang indah. “Kau sama denganku. Sama-sama menyukai sesuatu yang rumit.”
Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan Ga Eul, ‘Sama? Apa baru saja dia mengatakan bahwa ada persamaan antara musim semi dan musim gugur?’ batinya. Dia tidak pernah menginginkan adanya persamaan antara dirinya dan Doo Joon. Mereka haruslah berbeda. Kalau tidak, Ga Eul akan kebingungan menebak seperti apa jati diri Doo Joon yang sebenarnya.
“Waeyo?” pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Doo Joon. Ia tidak tahan melihat ekspresi kebingungan di wajah Ga Eul.
“Ani, hanya saja aku tiba-tiba teringat sesuatu. Hmm…Doo Joon-ah, mungkinkah musim gugur dan musim semi memiliki persamaan?” tanya Ga Eul. Ia ingin memastikan apakah Doo Joon adalah musim semi seperti yang diperkirakannya atau hanya lelaki yang tidak pernah bisa ia baca kepribadiannya.
Pertanyaan ini membuat Doo Joon sedikit terkejut. Apa pertanyaan ini ada hubungannya dengan topik yang tadi mereka bicarakan? Namun Doo Joon tidak terlalu memikirkannya.
“Menurutku, di dunia ini tidak ada satupun hal yang sepenuhnya berbeda. Walaupun hanya satu, pasti memiliki persamaan. Begitu juga dengan dua musim yang kau tanyakan. Sekilas kedua musim itu memang sangat berbeda. Tapi jika kau melihatnya lebih dalam, kau akan menemukan persamaan itu. Kedua musim itu sama-sama musim peralihan. Musim gugur dan musim semi juga memiliki pengaruh besar terhadap perubahan tumbuhan.” Ga Eul diam mendengar penjelasannya. Ini sulit dipercaya. Doo Joon bahkan menemukan persamaan itu. Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Ga Eul.
Tapi gadis itu senang. Ternyata penjelasan Doo Joon membuatnya semakin yakin bahwa dia memang musim semi bagi Ga Eul. Musim semi yang indah, musim semi yang kini diharapkannya. Mereka sama-sama tersenyum. Memastikan bahwa diantara mereka baik-baik saja.
~Gyeou garyeogo maeumeul jaba geochin pokpungcheoreom millyeowatda machi bitmulcheoreom jiwojil unmyeongigetjiman…~
Ponsel kesayangan Ga Eul berdering. Melihat layarnya, Ga Eul hanya tersenyum. Entah siapa yang meneleponnya, ini membuat Doo Joon sedikit penasaran.
“Yeoboseyo? Sun Ra ajumma? Ne, apa ada masalah?”
Cukup lama Ga Eul mendengarkan, cukup lama pula ia terdiam. Entah apa yang dikatakan ajumma kesayangannya itu. Yang pasti hal itu telah membuat matanya terbelalak. Perlahan, mulut Ga Eul terbuka. Seindah daun kering yang berguguran, seindah itu pula air matanya jatuh. Tapi sayang, itu tak seindah perasaannya yang kini tiba-tiba seperti tersambar petir. Tanpa sadar, gadis itu menjatuhkan ponselnya.
Ga Eul melihat Doo Joon menggerakkan mulutnya, mungkin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak bisa mendengarnya. Dia merasa ada spiral aneh yang memasuki pikirannya. Dengan pandangan kosong dan air mata yang tetap mengalir, gadis itu berjalan ke luar café untuk bertemu daun-daun kering yang berjatuhan dan meninggalkan semua yang ia bawa dalam café.
Kakaknya, kakaknya yang sedang sakit keras itu kini telah pergi meninggalkannya. Kenapa harus berakhir seperti ini? Walaupun kakaknya selalu bersikap dingin, tapi Ga Eul masih membutuhkannya. Ga Eul masih menyayanginya. Dia masih membutuhkan sosok seorang kakak di sampingnya.
Gadis itu menangis di bawah pohon besar yang sebagian daunnya hampir habis berjatuhan. Beberapa daun kering yang baru jatuh membelai rambutnya lembut, seakan mengerti masalahnya dan berusaha menenangkan hati Ga Eul yang sedang bersedih. Angin pun terhenti sejenak, seakan tahu bahwa gadis itu membutuhkan ketenangan.
Seseorang duduk di sebelahnya dan memberikan sapu tangan pada Ga Eul. Gadis itu menoleh, dan dia mendapati Doo Joon di sampingnya.
“Uljima. Hapuslah air matamu itu. Walaupun ini tidak membuat kecantikanmu hilang, tapi aku tidak suka melihat kau menangis dan bersedih seperti ini.” Doo Joon menarik kepala Ga Eul hingga bersandar di bahunya. Dengan lembut, lelaki itu membelai rambut Ga Eul pelan, memberikan rasa nyaman pada si pemilik rambut.
“Aku tidak akan memaksamu menceritakan padaku apa yang sedang terjadi. Itu hakmu dan juga masalahmu. Tapi aku tidak akan keberatan jika kau mau bercerita.” dan Ga Eul masih tetap tak berbicara. Cegukkan akibat tangisannya yang keluar membuat gadis itu tidak bisa diam. Rasa sedih terlalu mendominasi hatinya saat ini. Tapi entah mengapa, belaian lembut jari-jemari Doo Joon di kepalanya membuat hati Ga Eul sedikit lebih tenang. Dia senang ada seseorang yang diam di sisinya saat suasana gadis itu sedang kacau.
“Untuk saat ini, tetaplah di sisiku…” ucap Ga Eul yang hampir terdengar seperti bisikan di telinga Doo Joon, “Aku membutuhkan sandaran…”
Doo Joon tidak menjawab, tapi dia juga tidak pergi meninggalkan gadis itu. Doo Joon ingin membuat gadis yang sedang bersandar di bahunya ini merasa nyaman. Entahlah, sepertinya Doo Joon merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya. Apa itu? Dia sendiri tidak bisa menjelaskannya…
Lama mereka terdiam. Menikmati indahnya langit musim gugur di sore hari yang tenang sebelum akhirnya kembali ke café. Sejenak, Ga Eul ingin melupakan berita tentang kematian kakaknya. Bukannya apa-apa, hanya saja gadis itu ingin terlihat lebih tegar saat nanti melihat tubuh kakaknya yang mungkin sudah terbujur kaku. Sungguh, ia mencintai kakaknya. Dan juga…dia mencintai lelaki di sampingnya ini. Perlakuannya yang hangat membuat Ga Eul yakin, bahwa musim semi bisa bersatu dengan musim gugur untuk menggantikan musim dingin yang menghilang bahkan sebelum waktu kemunculannya tiba.
—
Kedekatan Ga Eul dan Doo Joon semakin terlihat jelas. Sejelas daun-daun kering yang berguguran indah. Dua bulan setengah lamanya berlalu dan selama itu pula mereka bertemu di tempat dan waktu yang sama. Tidak ada yang berubah. Ga Eul tetap berada di mejanya, begitu pula dengan Doo Joon. Mereka belum pernah duduk dalam satu meja. Tapi itu keinginan mereka sendiri. Kini sudah menjadi kebiasaan baru para pelayan melihat kedatangan dua tamunya yang kini bertambah akrab satu sama lain.
Ga Eul begitu menikmati waktu sorenya semenjak ia mengenal Doo Joon. Semakin hari semakin banyak perbedaan yang bisa ia temukan dalam diri lelaki itu. Walaupun begitu, ia tidak peduli. Lelaki bernama Doo Joon itu, entah bagaimana, membuatnya selalu merasa nyaman. Cara ia berbicara, cara ia memandang, cara ia mendengarkan, benar-benar bisa membuat Ga Eul melupakan kisah sedih tentang kakaknya. Ia…semakin mencintai lelaki itu.
Ga Eul bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Gadis itu terlalu pemilih. Bahkan Jong Min, sahabat terdekatnya, bingung dengan selera Ga Eul. Jong Min berpikir, mungkin itu karena dia selalu menghubungkan sesuatu dengan rumus-rumus konyolnya tentang musim. Tapi kini, gadis itu telah menemukan apa yang dicarinya. Rasanya menyenangkan akhirnya rasa cinta itu dapat ia rasakan juga. Bahkan rasanya musim semi akan datang lebih cepat tahun ini dan memekarkan bunga-bunganya yang sangat indah.
“Sudah dua bulan lebih…bukankah lebih baik kau yang mengatakannya lebih dulu?”
“Tidak bisa begitu Jong Min-ah…kau tahu kan aku ini…”
“Wanita?” potongnya, “Kenapa wanita selalu lebih mementingkan harga diri daripada perasaannya? Bukankah itu sangat menyiksa?” Jong Min menyenderkan kepalanya pada pohon besar di belakang.
“Itulah mengapa wanita dan pria diciptakan berbeda. Wanita memiliki kemampuan lebih untuk bisa mengontrol harga diri agar perasaannya terlindungi.” jawab Ga Eul dengan santainya. Matanya masih berkutat pada buku sastra yang baru saja ia beli. Tebalnya? Bayangkan saja dua kamus besar yang disatukan.
“Itu kalau lelaki yang kau maksud memiliki kepribadian yang sama dengan lelaki pada umumnya. Kau boleh berspekulasi seperti itu. Bukankah kau sendiri yang mengatakan dia sa-ngat-lah-ber-be-da?” tanya Jong Min dengan penekanan di setiap kata-katanya.
“Ne, keundae…”
“Nyatakan perasaanmu segera,” potong Jong Min lagi, “atau kau akan kehilangan dia untuk selamanya.”
“Hati-hati kalau berbicara, Kim Jong Min! Mulutmu bisa berubah menjadi asahan pisau kalau kau tidak menjaganya.” jawab Ga Eul kesal. Jari-jemari gadis itu menyisir rambut indahnya kasar, merapikannya.
“Apa kau tak pernah ingin tahu?” kini Jong Min duduk tegap dan menatap mata coklat Ga Eul penasaran.
“Tahu apa?”
“Bahwa Doo Joon mencintaimu atau tidak? Apa dia sudah memiliki kekasih? Tidakkah kau curiga mengapa lelaki seperti dia belum juga menyatakan cinta pada wanita cantik sepertimu padahal ini sudah lebih dari dua bulan? Apa dia tidak tertarik padamu? Tidakkah kau ingin mengetahuinya? Hm?”
Pertanyaan bertubi-tubi yang dilontarkan Jong Min membuat Ga Eul sadar bahwa…ya, dia perlu mengetahui semua itu! Dia sudah mengenal Doo Joon dua bulan lebih lamanya. Tapi mengapa tak ada respon sedikit pun dari Doo Joon? Apa lelaki itu tidak pernah menyadari bagaimana Ga Eul selalu menatapnya dengan cara lain? Yang bahkan belum pernah didapatkan sahabatnya sendiri?
Ga Eul balik menatap mata hitam Jong Min. Tatapan mata itu mengisyaratkan bahwa Jong Min tidak memerlukan jawabannya. Tatapan mata yang tegas dan yakin, “Ya, aku sangat ingin mengetahuinya.”
Jong Min tersenyum. Jawaban tegas itu membuka jalan bagi Ga Eul untuk mencoba lebih terbuka. “Maka, kau harus mengatakannya.”
—
Faraway things always look beautiful
If I move closer, what will the world show me?
I still have many fears
Will you let me lean on you?
Will you open your heart a little more?
Don’t you need to rely on someone?
Like me?
(IU – Last Fantasy)
—
November 2007 : Akhir musim gugur, menjelang musim dingin
Beberapa hari menuju musim dingin, membuat Ga Eul terpaksa memakai pakaian yang lebih tebal dari biasanya. Bahkan jaket sweater berbulunya kini tak bisa lagi menahan dinginnya hembusan angin. Gadis itu membiarkan rambutnya terurai untuk menutupi leher jenjangnya yang kedinginan.
“Mungkin sekitar 10 halaman lagi.” jawab Ga Eul tanpa mengalihkan matanya dari layar laptop. Ia terlalu sibuk pada setiap baris naskah-naskah yang sedang ia kerjakan, sementara espresso favorit-nya sudah mulai mendingin.
“Itu kisahmu?”
“Anio. Ini kisah dimana seorang wanita berusaha menemukan kebahagian bersama suaminya. Kisah klasik, tapi yah, ada sedikit perkembangan dalam ceritanya.” jawab Ga Eul sambil menyingkirkan beberapa helai poni yang menghalangi penglihatannya.
Sejujurnya, Ga Eul tidak bisa berpikir. Bahkan semenjak datang ke café ini, dia baru menorehkan satu baris kalimat pada naskahnya itu. Karena sedari tadi, yang ada di pikirannya hanyalah pertanyaan Jong Min.
Bahwa Doo Joon mencintaimu atau tidak? Apa dia sudah memiliki kekasih? Tidakkah kau curiga mengapa lelaki seperti dia belum juga menyatakan cinta pada wanita cantik sepertimu padahal ini sudah lebih dari dua bulan? Apa dia tidak tertarik padamu? Tidakkah kau ingin mengetahuinya? Hm?
Ya, kini rasa ingin tahunya akan hal itu sangatlah besar. Haruskah ia menanyakan itu sekarang? Akankah ia melupakan kodratnya sebagai seorang wanita dan mengatakan semua isi hatinya pada lelaki yang sedang duduk di meja no. 4 itu?
“Doo Joon-ah…” kali ini Ga Eul menatap Doo Joon. Menatap ke dalam matanya yang besar dan menyejukkan.
“Ne?”
“Menurutmu…apakah wajar seorang wanita mengungkapkan isi hatinya pada lelaki yang ia cintai?”
Pertanyaan ini tak mendapat respon sedikit pun dari Doo Joon. Lelaki itu, dengan wajah yang tiba-tiba menegang, menatap seorang wanita yang sedang berjalan menuju Coffee Price Café. Matanya tak lepas dari wanita itu sampai ia berdiri di depan meja no. 4.
Elegant. Itulah kesan pertama yang Ga Eul dapatkan saat melihat gadis itu. Wajahnya yang cantik, kulit yang putih, badan yang tinggi, rambut hitam dan bergelombang…dia seperti model. Jaket berbulu coklat yang ia kenakan menutupi lekuk tubuhnya yang indah. Siapa dia?
Pandangan Ga Eul beralih pada Doo Joon. Ekspresi tegang yang tadi menyelimutinya belum juga hilang. Tapi kemudian, ia menghembuskan nafasnya pelan. Seakan pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Ternyata…kau lebih senang menghabiskan waktumu disini, oppa? Bersama dengan…” ia sengaja memutuskan kalimatnya dan memandang sinis ke arah Ga Eul, seakan mengejek. Dia tersenyum, tapi senyumnya itu menunjukkan bahwa ia ingin membunuh seseorang. “Ireumi mwoyeyo, agasshi?” tangannya terulur pada Ga Eul. Terpaksa gadis itu menyambut tangannya.
“Song Ga Eul imnida.” jawab Ga Eul.
“Ga Eul? Kau pastilah lahir di musim gugur, benarkan? Oh iya, Kim Young Mi imnida. Aku…” dengan sengaja ia memutuskan kalimatnya dan memandang Doo Joon sekilas, lalu beralih lagi pada Ga Eul, “…tunangan lelaki ini.”
Ga Eul bingung. Apa yang harus ia jawab? Sesuatu yang menyenangkan kah? Atau ungkapan penyesalannya? Fakta ini membuat pikirannya dipenuhi tali-tali benang yang tak terlihat.
“Oh…aku, aku temannya. Kami belum mengenal lama.” jawab Ga Eul tersenyum. Senyum yang cukup kaku untuk seseorang yang sedang terkejut.
“Belum lama? Sebenarnya aku tidak berharap kalian sudah mengenal lama. Jujur saja, aku…”
“Keumanhae.” potong Doo Joon. “Aku tidak ingin kau berbicara lebih banyak dari ini. Aku memang tunanganmu, tapi apakah pantas kau berbicara seperti itu padanya? Yang bahkan baru mengenalku selama dua bulan? Dimana sopan santunmu?”
“Wae? Aku berbicara apa adanya.”
“Pulanglah.”
“Mwoya?”
“Pulanglah!” bentak Doo Joon untuk yang kedua kalinya. Mata Young Mi membulat, ia terkejut dengan apa yang dikatakan tunangannya itu.
“Aku tidak akan pulang tanpamu, oppa.” ucapnya tajam.
Doo Joon menghembuskan nafas pelan. Suhu tubuhnya yang dingin kini bertambah dingin dengan kehadiran Young Mi. “Geurae, kita pulang. Kajja!”
Young Mi mendahului Doo Joon keluar dari café. Entah mengapa Doo Joon sepertinya berat meninggalkan café ini. Apa mungkin ini karena Ga Eul?
“Aku akan menjelaskannya nanti. Annyeong.”
Ga Eul tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya seperti dijahit dengan benang merah. Kenyataan itu menusuknya, tentu saja. Bahkan ia belum mengatakan apa pun tentang perasaannya. Dan sekarang, gadis tak diundang itu telah datang merusak acaranya hanya untuk mengatakan yang sebenarnya.
Untuk kesekian kalinya, Jong Min benar. Seharusnya Ga Eul menyatakan perasaannya dari dulu sebelum rasa cinta itu tumbuh semakin besar dan dalam. Jika sudah begini, rasanya sakit sekali.
Mengapa ini harus terjadi dalam kisah cinta pertamanya? Gadis itu tentu saja mengharapkan kisah cinta pertama yang indah, yang bahagia.
Perlahan, air mata Ga Eul mengalir dengan indahnya. Bagaikan batu permata yang jatuh dan pecah menjadi bagian-bagian kecil yang malah membuat kilaunya semakin indah. Gadis itu menangis. Disaksikan dengan tatapan prihatin dari para pelayan yang memperhatikannya secara sembunyi-sembuyi, tepatnya memperhatikan kisah cintanya. Ingin para pelayan itu memberi semangat atau bahkan hanya menepuk pundaknya pelan. Tapi siapa mereka? Bahkan mengetahui kisahnya saja mereka tidak berhak.
“Apa arti pertemuan kita selama ini? Mengapa kau tidak pernah mengatakannya padaku tentang ikatan itu? Kau menyakitiku, Doo Joon-ah…” ucap Ga Eul pelan di sela-sela tangisnya.
Tak ada satu pun yang salah dari lelaki itu. Bukankah ini semua karena Ga Eul yang tak pernah menanyakan tentang statusnya? Bahkan lelaki itu tidak pernah tahu bahwa dia menyukainya, terlebih lagi mencintainya. Kini semua itu sudah terlambat. Cinta itu sudah terlanjur tumbuh semakin dalam.
Aku akan menjelaskannya nanti. Annyeong.
Untaian kata itu masih terngiang jelas di telinganya. Untuk apa lelaki itu menjelaskannya? Doo Joon tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan semuanya pada Ga Eul. Gadis itu hanyalah ‘Teman 2 bulan’-nya. Apa dia mengharapkan sesuatu dari Ga Eul? Entahlah. Ada saja yang membuat gadis itu bingung di sela-sela tangisnya.
—
Now
I know that it’s the end
I know that it’s all just foolishness
Now I know that it’s not true
I am just disappointed in myself for
Not being able to get a hold of you because of that pride
(B2ST – On Rainy Days)
—
Penantian bukan sebuah tantangan bagi Ga Eul. Namun ketika penantian itu tak kunjung datang, gadis itu menyerah. Ia sadar bahwa hatinya terlalu berharap.
Ya, setelah kejadian itu, setiap sore Ga Eul masih datang mengunjungi café. Berharap Doo Joon datang dan menjelaskan sesuatu padanya. Tapi hingga musim dingin tiba, meja no. 4 itu tetap kosong tak berpenghuni. Berhari-hari Ga Eul menunggu, tapi sepertinya lelaki itu sudah melupakannya. Entah gadis itu bodoh atau bagaimana, ia masih saja menunggu hingga musim dingin hampir berakhir. Dan kemudian, ia menyerah. Walaupun rasa cintanya masih ada, ia tahu semua itu tak akan terbalas.
—
Maret 2008 : Akhir musim dingin, menjelang musim semi
Suara langkah sepatu boat membuat jalanan Hongdae di pagi hari sedikit ‘terisi’. Wanita dan lelaki yang tengah asyik berjalan-jalan itu terlihat santai dengan balutan jaket berbulu tebalnya. Pembicaraan itu membuat mulut mereka mengeluarkan kumpulan asap kecil yang bertiup pelan. Membuat suasana musim dingin semakin terlihat.
“Kau serius? Kau bahkan sudah menandatangani ini sebelum meminta persetujuanku?” ucap Jong Min tak percaya. Matanya yang membulat itu tak lepas dari coretan tinta yang membentuk garis berbelok-belok dengan nama ‘Song Ga Eul’ tertera di bawahnya.
“Ne. Untuk apa aku meminta persetujuanmu? Lagipula ini untuk masa depanku.” balas Ga Eul. Sesekali ia menutup hidungnya karena tak kuat menahan hawa dingin.
“Ok, kau memang lulus dengan nilai terbaik. Mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri memang tawaran yang sangat menarik. Tapi, kenapa harus di Paris? Padahal kau dapat tawaran dari universitas di Jepang dan Rusia. Lagipula jurusan ekonomi sama sekali tidak ada hubungannya dengan sastra! Apa kau yakin bisa?”
Mendengar ini, Ga Eul tersenyum. Ia sudah mengira Jong Min akan menanyakan hal itu. “Aku sudah terlalu banyak belajar sastra. Aku ingin mempelajari sesuatu yang baru. Bukankah lebih baik jika kita belajar berbagai macam ilmu? Dan kenapa harus di Paris, itu karena tingkat ekonomi di sana lebih tinggi dari Jepang dan Rusia”.
Jong Min menghembuskan nafasnya pelan, pasrah. Ia menyerahkan kembali dokumen itu pada Ga Eul. Ia tahu jika sudah begini, sahabatnya itu tidak akan pernah berubah pikiran.
“Aku akan sangat merindukanmu. Kapan kau berangkat?”
“Besok.” jawabnya singkat.
Mendengar ini, Jong Min terkejut. Sangat terkejut malah. “Mwo? Besok? Apa ini berarti kau sudah melupakan…” Jong Min menghentikan kata-katanya. Dia takut apa yang dikatakannya akan menyakiti hati Ga Eul. Dia tahu ingatan tentang lelaki bernama Doo Joon itu masih tersimpan rapi dalam memorinya.
“Aku sudah lelah menunggu kepastian, Jong Min-ah. Ya, sepertinya aku menyerah.”
Tangan Jong Min menepuk pelan bahu Ga Eul, seakan mengerti apa yang gadis itu rasakan. Jong Min memang selalu mengerti sahabatnya. “Cinta itu pasti datang. Hanya saja kita tidak tahu kapan dan dimana. Waeyo? Kau kedinginan?” tanya Jong Min melihat Ga Eul memeluk dirinya sendiri.
“Geureom. Ini masih musim dingin Jong Min-ah…”
“Tapi kau selalu menyukainya kan, maksudku, musim ini? Kalau begitu, bagaimana kalau kita mampir kesana?” Jong Min menunjuk sebuah café di depan mereka dengan dagunya. Mereka berhenti tepat di depan café itu. Café yang selama ini tak pernah absen dikunjngi Ga Eul. Café dimana ia menemukan pangerannya yang pertama. Ya, Coffee Prince Café.
Sejenak, mata coklat Ga Eul memandang bangunan itu. Dia yakin di Paris nanti ia akan sangat merindukan café ini. “Geurae, mungkin untuk yang terakhir kali.”
Semenjak kedatangannya yang pertama hingga sampai saat ini, ia baru menyadari bahwa café ini semakin hari semakin sepi. Tidak banyak orang yang berkunjung. Hati kecilnya bertanya, kenapa ya? Padahal menurutnya, menu-menu disini tak kalah populernya dengan café lain. Apa itu hanya perasaannya saja?
“Aku ke toilet sebentar.” Jong Min meninggalkan Ga Eul bahkan sebelum mereka memilih tempat duduk. Tapi lelaki itu tahu, Ga Eul tidak akan memilih tempat lain selain meja ‘itu’.
Seorang pelayan berpita pink menghampiri Ga Eul. “Menu biasa kan, agasshi?” namun sebelum pelayan itu berbalik, Ga Eul berkata, “Ani.” dan tentu saja ini membuat si pelayan terkejut. “Kali ini, Violet Potato Princcino dan Crepe Cake” ucapnya dengan senyum yang tak dimengerti. Si pelayan membalas senyum itu dengan ragu-ragu. Ada apa dengan pelanggannya yang satu ini? Tak biasanya ia memesan menu lain. Lagipula…ini musim dingin, apa ia sadar menu apa yang ia pesan?
Ya, hari ini para pelayan dibuat bingung oleh gadis itu. Dimulai dengan kedatangannya dengan seorang lelaki yang menurut mereka misterius dan pesanan yang berbeda dari biasanya. Apa lelaki yang bersamanya adalah kekasih ‘Agasshi 3’? Lalu bagaimana dengan lelaki yang selalu duduk di meja no.4 itu? Apa gadis itu sudah mulai melupakannya?
Para pelayan malah berdebat di belakang. Sepertinya mereka tertarik sekali dengan kisah cinta pelanggannya yang satu ini. Mereka selalu menebak-nebak bahwa ‘Agasshi 3’ mencintai lelaki yang kini tak pernah berkunjung lagi ke café mereka. Dan kenyataannya dia memang mencintai lelaki itu.
Kekecewaan tampaknya muncul pada si pelayan berpita pink. Yah, sebenarnya ia sudah menyiapkan Cream Cheese Waffle dan Espresso Conpanna sebelum pelanggan favoritnya itu datang.
Author’s POV End
—
Ga Eul’s POV
“Panggilan terakhir kepada penumpang airbus dengan nomor penerbangan 007 harap segera boarding pass, karena pesawat 30 menit lagi akan segera berangkat menuju Paris.”
~Gyeou garyeogo maeumeul jaba geochin pokpungcheoreom millyeowatda machi bitmulcheoreom jiwojil unmyeongigetjiman…~
“Ya! Kenapa tidak bilang kalau kau mau berangkat pagi?!”
Bentakan itu mengawali senyumanku hari ini. Ck, masih pagi sudah marah-marah. “Aku tidak ingin mengganggu tidurmu. Aku tahu kau mengerjakan proposal sampai larut malam.”
“Tapi aku ingin mengantarmu ke bandara, bodoh. Jadi sekarang kau sendirian?”
“Ne. Aku tidak perlu diantar, Jong Min-ah. Aku sudah dewasa. Sebentar lagi aku harus segera boarding. Aku mungkin pulang jika libur semester tiba.”
Aku tahu ini berat untuk Jong Min. Dia terlalu menyayangiku, yah aku juga menyayanginya. Tapi itu wajar. Mungkin dia merasa kasihan padaku yang sudah tidak memiliki siapa-siapa ini.
“Geurae. Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa kabari aku lewat e-mail, ok? Bye… ”
“Ne. Bye, Jong Min-ah.”
Aku rasa, aku akan sangat merindukan Jong Min. Dia sudah aku anggap seperti kakak sendiri. Lelaki yang benar-benar baik.
Ahh..~aku harus segera boarding sepertinya.
“Song Ga Eul…! Song Ga Eul…..!”
Ige mwoya? Sepertinya semilir angin musim semi yang hampir datang membuat pendengaranku sedikit terganggu. Tapi itu tidak menghentikan langkahku. Haah..~koper ini cukup berat juga.
“SONG GA EUL…!!”
Kali ini aku menghentikan langkahku. Ini tidak salah. Seseorang memang memanggil namaku. Tapi siapa? Aku mencari ke sekeliling.
Di atas sana, matahari mungkin sudah mencairkan sebagian besar timbunan es dan menggantikannya dengan bunga-bunga musim semi yang indah. Sepertinya musim semi datang lebih awal. Dan benar saja, musim semi itu kini tengah berlari ke arahku.
“Annyeong..” sapanya dengan nafas sedikit tersenggal-senggal. Tapi sungguh, itu tidak membuat ketampanannya berkurang sedikit pun.
“Annyeong Doo Joon-ah…” aku membungkuk kecil padanya sambil tersenyum, seakan penantian akan penjelasannya selama ini tak pernah terjadi. Seakan kejadian terakhir bersamanya di café itu tak pernah ada.
“Mianhae, aku…aku tak pernah menyukai musim dingin. Makanya…”
“Arra,” potongku, “semua orang tahu itu dari caramu berpakaian. Kau seperti penduduk dari Kutub Utara.”
Doo Joon tersenyum. Senyumnya itu menghembuskan semilir kehangatan di wajahku. Aku akan merindukan senyuman itu.
“Baiklah, sepertinya kau harus segera berangkat. Aku hanya ingin menyerahkan ini.” ia mengeluarkan surat dari kantong jaket tebalnya. Kelihatannya bukan surat biasa. Itu seperti…surat undangan? Entahlah.
“Aku akan membacanya nanti. Ddo manayo.”
“Ne, ddo manayo. Jaga dirimu baik-baik.”
Sebelum senyum itu terkembang, aku berbalik meninggalkannya. Ada sebagian kecil dalam diriku yang merasakan sakit luar biasa entah apa alasannya.
Tak terasa air mataku jatuh. Aku ingat dia sudah memiliki tunangan dan aku tidak boleh berharap lebih. Biarkanlah lelaki itu menjadi cerita tersendiri dalam ingatanku.
Dalam kodratnya, musim semi selalu hadir setelah musim dingin berlalu. Tapi sepertinya dalam rumusku ini, musim semi tak akan pernah datang untuk memekarkan bunga-bunganya yang indah. Musim semi itu telah berakhir bahkan sebelum waktunya tiba.
Tapi tunggu…kenapa lekaki itu tahu bahwa aku sedang berada disini?
—
Though it’s gonna be hard to leave you
I’ll be ready to move on without you
Sure this storm has drowned me
But soon the sky will be much clearer
(Super Junior – Storm)
—
(10 tahun kemudian)
Agustus 2018 : Musim panas
“Dari dulu saya sudah bilang, cepat hapus cat bertuliskan ‘Dijual’ itu! Mereka selalu mengira kita menjual café ini. Saya tidak mau tahu, hari ini tulisan itu harus sudah hilang!”
“Ne, sajangnim.” ucap Yong Jun, pegawai yang sudah bekerja selama 3 tahun di café ini.
Tempat ini memang baru dibeli suamiku satu tahun yang lalu, tapi pegawai yang bekerja disini masih pegawai lama. Keadaanya yang menyedihkan dan hampir bangkrut membuat pemilik sebelumnya terpaksa menjual café ini. Sekarang malah banyak yang berminat membeli café ini setelah sukses kembali. Café apa? Tentu saja…Coffee Prince Café.
Awalnya, suamiku sempat ragu karena dia terlalu sibuk dengan perusahaan yang dibinanya. Tapi aku memaksanya dan berjanji akan mengurus tempat ini selama aku mampu.
Aku tidak ingin melihat café ini bernasib buruk. Jika café ini hilang, maka kenanganku pun hilang. Kenangan saat aku menemukan cinta pertamaku 10 tahun yang lalu. Tapi itu dulu, karena sekarang aku sudah memiliki keluarga kecil yang bahagia. Ya, sangat bahagia.
Tok tok tok!
Suara ketukan di pintu menyadarkanku. Nuguya?
“Eomma….!!” ah, dia..malaikat kecilku. Kehadirannya selama empat tahun selalu bisa membuatku tersenyum. “Eomma, ayo kita pulang…”
Aku pun menggendongnya dalam pangkuan. “Geurae, ayo kita pulang. Neo appa, odi?”
“Aku disini.” potong sebuah suara, “Kau sudah selesai, yeobo? Apa ada masalah hari ini?” tanya suamiku. Dengan kemeja yang masih melekat itu, kentara sekali ia baru saja pulang kerja dan menjemput Yeoreum di rumah Sun Ra ajumma.
“Ne, aku sudah selesai. Hanya masalah kecil. Aku sudah menyuruh Yong Jun untuk menyelesaikannya. Kajja, kita pulang!”
Aku berjalan menuruni tangga dengan Yeoreum yang masih dalam gendongan. Beberapa pegawai membungkuk hormat melihat kami. “Semuanya, kami pulang duluan ya!” ucapku pada mereka. Seperti biasa, mereka tersenyum dan menjawab ‘Ne, ddo bwepkessemnida’ secara bersamaan. Aku biasa menyerahkan urusan ‘tutup café’ pada Yong Jun.
“Sebelum pulang, kita ke rumah Jong Min sebentar ya. Kau tidak lupa janji kita dengannya hari ini kan?” tanya suamiku. Dengan pengertiannya dia membukakan pintu mobil depan untukku.
“Tentu saja. Tapi kita tidak mungkin berkunjung ke rumahnya dengan tangan kosong. Kita beli makanan dulu sebentar.”
“Sebenarnya, dia tak pernah mengeluh jika kita tidak membawa makanan saat berkunjung ke rumahnya, tapi, tak apa.” ucapnya dengan senyum yang…tak pernah berubah. Selalu bisa membuat hatiku berdesir hangat. Persis seperti dulu.
“Baiklah. Ayo berangkat, Doo Joon-ah.”
————————————————————————————————————————————–
Di dunia ini ada empat macam musim yang berbeda. Kau tahu itu kan? Musim gugur, yang diganti oleh musim dingin, disusul musim semi, dan kemudian muncul musim panas. Kebiasaanku menilai orang berdasarkan musim masih berlanjut hingga kini. Karena menurutku itu tak pernah salah. Atau itu hanya kebetulan? Entahlah.
Alasan mengapa aku menyukai musim, seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya, memiliki keunikan tersendiri yang membuat dunia ini menjadi lebih berwarna. Musim gugur dengan suasana sejuk dan daun-daun kering yang menyertainya, juga suasana yang memiliki kesan romantis tersendiri. Musim dingin sedingin es dengan butiran salju putih yang bertebaran. Musim semi dengan kehangatan disertai mekarnya bunga-bunga yang cantik dan indah, membuat dunia dipenuhi warna-warni bunga. Dan musim panas yang selalu dijaga matahari dengan pesonanya, menjadikan langit lebih cerah dan panas.
Kehadiran Yeoreum dalam kehidupanku dan Doo Joon membuat hari-hari yang kami lalui terasa lebih menyenangkan. Ah ani, sangat menyenangkan. Walaupun kami menamainya ‘Yeoreum’ (artinya: musim semi), tetapi sifatnya yang lucu dan polos membuat ia terlihat seperti musim gugur yang selalu menyejukan kehidupan keluarga kami. Dia adalah segalanya. Dia adalah matahari baru kami.
Doo Joon, tak bisa aku jelaskan betapa beruntungnya aku memiliki pendamping hidup seperti dia. Cinta pertama dan terakhirku.
Pandanganku terhadap cinta pertama sepertinya terpatahkan jika melihat kisah hidupku ini. Haahh…~demi Tuhan, aku sangat mencintainya. Tak ada satu pun yang kurang darinya. Dia suami dan ayah yang sangat baik. Kebijaksanaan dan pengertiannya yang sangat besar membuat kami jarang sekali mendapat masalah besar yang berakhir dengan pertengkaran hebat. Yeoreum..Doo Joon….mereka benar-benar segalanya bagiku. Mereka adalah hidupku. Aku tak bisa bayangkan bagaimana hidupku tanpa mereka.
Saranghae…nae Yeoreum, nae Doo Joon. Neoheui nae jinjeonghan sarang…..
—
Everything’s alright
If you hold me tight
I’ll be fine as long as I have you
Like a sunny day
Such a wonderful day
(IU – Everything’s Alright)
—
————————————————————————————————————————————–
Seoul, 10 Maret 2008
Kepada
Song Ga Eul, Si Agasshi 3
Annyeong,
Sebelumnya, apa kau mengira ini surat undangan? Aku harap tidak, karena surat ini khusus aku tulis untukmu.
Mungkin kau bingung bagaimana aku bisa tahu kau berada di bandara. Apa kemunculanku mengejutkanmu? Sebelumnya, maafkan aku. Sungguh, aku tak pernah menyukai musim dingin. Entah mengapa kulitku selalu memerah jika terkena butiran salju. Makanya selama 4 bulan ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Dan kampus, tentu saja.
Kemarin sore aku memaksakan diri pergi ke café karena salju sudah tak setebal hari-hari kemarin. Sialnya, aku tak menemuimu. Apa mungkin kau tidak pernah datang lagi ke café itu? Aku berpikir, jangan-jangan kau marah padaku…
Aku bertanya pada para pelayan. Mereka mengatakan kau datang pagi hari bersama seorang lelaki. Aku tak tahu siapa itu. Temanmu, Jong Min? Saudaramu? Atau…kekasihmu? Mereka mendengar kalian membicarakan tentang keberangkatanmu ke Paris besok, yang berarti hari ini. Aku memutuskan menemuimu di bandara karena kemarin semakin sore udara malah semakin dingin. Dan surat inilah hasilnya.
Aku pernah mengatakan akan menjelaskan tentang pertemuan terakhir kita padamu. Mungkin kau menganggapku pembohong karena sampai saat ini aku belum mengatakan apapun. Dan malah mungkin kau tak peduli. Tapi penting bagiku untuk menjelaskan ini. Surat ini mungkin akan merubah hidupku. Tergantung bagaimana kau menanggapinya.
Kim Young Mi, dia memang tunanganku. Kami sudah terikat hubungan itu selama 6 bulan lamanya. Tapi itu bukan kemauanku. Dia sendiri yang menginginkannya. Wanita itu meminta orang tuanya untuk menjodohkan dirinya denganku. Dan orang tuaku malah menyetujuinya. Selain karena orang tua kami dekat, mereka juga lelah melihatku yang tak juga memiliki kekasih. Aku tentu saja menolak pertunangan ini. Aku tidak mencintai Young Mi karena dari dulu aku menganggapnya sebagai adik perempuanku. Kau bayangkan sendiri bagaimana rasanya menikah dengan adik sendiri… Alasan lain karena statusku yang masih seorang mahasiswa.
Untungnya orang tuaku masih punya hati. Mereka mengatakan akan membatalkan pertunangan ini jika aku menemukan pilihan hatiku sendiri. Dan aku telah menemukannya di awal musim gugur kemarin. Musim dimana semua hal romantis bisa terjadi. Kau tahu siapa wanita itu? Aku yakin kau bisa menebaknya. Ya, dia adalah kau, Song Ga Eul. Aku jatuh cinta padamu saat mata kita bertemu untuk yang pertama kalinya. Mata coklatmu yang indah mampu mengalihkan pikiran dan hatiku. Itu mengapa aku berpura-pura menanyakan jam padamu saat kita pertama kali bertemu. Jujur, sebenarnya aku sudah tahu dimana letak jam dinding itu bahkan sebelum masuk café, karena benda itu memang terlihat dari luar.
Cinta itu memang indah bukan? Apalagi jika berbalas. Kata indah saja sepertinya tidak akan cukup untuk mewakili semua itu. Selama 4 bulan ini, aku terus memikirkanmu. Aku merasa sakit karena lama tak melihat wajahmu. Berlebihan bukan? Tapi mau apalagi, itulah kenyataannya. Bodohnya aku, selama pertemuan kita, aku tak pernah meminta nomor ponselmu. Aku terlalu hanyut dalam setiap pertemuan kita, sampai hal sepenting itu malah kulupakan. Lagipula, kau juga tak pernah menanyakannya padaku. Dan akhirnya itu malah mengkhawatirkanku.
Aku terkejut saat tahu dari para pelayan bahwa kau masih datang ke café walaupun itu sudah musim dingin. Hati dan pikiranku saling berdebat dan bertanya, apa kau datang setiap hari untuk menungguku dan meminta penjelasan? Atau itu sudah menjadi kebiasaanmu yang tak pernah berhenti untuk menghabiskan waktu sore di café itu? Tapi aku tak pernah menemukan jawabannya.
Dari semua penjelasan di atas, kau mengerti kan apa maksudku? Semua ini adalah curahan hatiku tentang dirimu yang apa adanya. Yang selalu bisa mengalihkan duniaku hanya dalam sekejap.
Saranghae…neomu saranghae, jeongmal saranghae. Aku berharap kau memiliki perasaan yang sama denganku. Sangat berharap…. Tapi semua itu terserah padamu. Bagaimana pun kau menanggapi surat ini, aku akan berusaha menerimanya. Kau mau membalasnya atau tidak, itu terserah padamu. Meskipun itu mungkin akan mengubah pandanganku tentang cinta.
Jika kau ingin menghubungiku, aku sudah mencatatkan beberapa kontak yang bisa kau hubungi dalam lembar lain surat ini. Aku akan sangat senang kalau kau mau menghubungiku. Itu akan menjadi semangat tersendiri untukku.
Semoga perjalananmu sampai ke Paris menyenangkan. Mudah-mudahan kau bisa menyesuaikan kehidupanmu di sana. Ingat, bagaimana pun keadaannya di sana, tetaplah tersenyum. Yakinlah bahwa senyummu bisa merubah sesuatunya menjadi lebih menyenangkan. Karena senyummu itu membawa kesejukan tersendiri, terutama bagiku. Sesejuk angin yang berhembus di musim gugur…
Ddo manayo!
Yang Selalu Duduk Di Hadapanmu,
Yoon Doo Joon
————————————————————————————————————————————-
THE END
whuaaaaaaa……. \(^o^)/
Suka, suka, suka…!!!
DAEBAK!! d^^b
Aku speechless, ini beneran keren..!!
Waa…gomaweo, gomaweo, gomaweo buuuu
Akhirnya 24 halaman tidak mengecewakan:))
ayo yg selanjutnya ditunggu..
Summer and winter…
Wah jadi 4 musim gini nih..
Keren, ini gak banyak skinship tp kesannya romantis bgt…
Gak terduga-duga..
Bahasanya juga.. Err…indah bgt..
Suka pokoknya..
Ayo yg JunEonnie publish part selanjutnya dong..
Lanjut ya thor, HWAITING..!! ^^9
Ne, ne,,kamsa bu udah baca^^
Secepatnya JunEonnie (Part 5) aku publish 😀
annyeonghaseyo author…..
mannaseo bangawoyo….
blog walker here (⌒▽⌒)
baca ff ini sambil dengerin lagu davichi 한 사람 (one person) pas banget buat nambah feel dari ni story….
suka buaaaaaaaangeetttttt sama ceritanya….so sweeeeeettttt banget banget…\(@ ̄∇ ̄@)/
ceritanya simple dan jelas..
bahasa dan penulisannya rapi..
alurnya jelas…
pokoknya god job buat author Congratulations!!★(*^-゚)⌒☆Wink!
Annyeong^^
Makasih ya udah mau baca,,,hehe:)
aigo aigo aigooo~
cute sekali ceritanya! dujunappa~ nado saranghaeee =))
daebak, juneonni!
gomaweo,,hhhe^^
Aigooo…so sweet
Happy ending
Sumpah terharu bacanyaaa
Wah keren aku ga pernag baca ff kaya gini daebak deh pokoknya 20000 jempol kalo aku punya 😀
Reblogged this on B2ST FANFICTION's Blog.
wihhh… keren cerita ny….
walaupun sampek pegel ini tangan untuk melihat halman selanjutnya,,,,ahir yg tidak mengecewakan….
aq pikir tadi dy sudah menikah dngn orang lain…#soktau
hehehe….:)
DAEBAKKK…..!!!!!!
Waahh romantisnya ><
Keren banget ff’y gg’ nyangka klo ending’y bgtu…… 🙂